Thursday, June 23, 2011

PENERAPAN PSAK NO. 46 (REFORMAT 2007) AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN
(Tinjauan pada Pajak Tangguhan atas Penyusutan Aset Tetap)


Latar Belakang
Tujuan perusahaan untuk memaksimalkan laba harus sejalan dengan peraturan atau ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya pengetahuan tentang akuntansi sangat diperlukan karena berkaitan dengan kewajiban pembukuan bagi perusahaan. Setiap perusahaan diwajibkan untuk membuat pencatatan atas transaksi yang dilakukan baik untuk kepentingan perusahaan itu sendiri maupun pihak lain yang berhubungan dengan perusahaan.
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU PPh), utamanya memiliki keterkaitan dengan akuntansi, meskipun tujuan UU PPh berbeda dengan tujuan akuntansi atau pelaporan keuangan. UU PPh dibuat untuk mengatur tentang pemungutan pajak atas penghasilan yang bertujuan untuk menggali sumber penerimaan negara, sedangkan tujuan akuntansi adalah untuk menyajikan secara layak posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan.
Perkembangan peraturan perpajak dan perkembangan Standar Akuntansi Keuangan bertujuan untuk memudahkan perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan. Salah satu Standar Akuntansi yang mengalami perkembangan adalah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. PSAK No. 46 yang merupakan penyempurnaan dari PSAK No. 16 Paragraf 77 mengenai pajak penghasilan yang ditangguhkan (deferred taxes), serta pengukuran, penyajian dan pengungkapan akuntansi pajak penghasilan.
PSAK No. 46 dapat dikatakan sebagai suatu metode akuntansi pajak penghasilan yang secara komprehensif mencoba menerapkan pendekatan neraca. Metode akuntansi pajak penghasilan yang berorientasi pada neraca ini mengakui kewajiban dan aset pajak tangguhan terhadap konsekuensi fiskal masa depan yang disebabkan oleh perbedaan waktu dan sisa kerugian yang masih atau belum dikompensasikan.
Prinsip pengakuan pendapatan dan biaya yang diakui oleh akuntansi sering kali berbeda dengan prinsip pengakuan pendapatan dan biaya yang diakui oleh perpajakan. Perbedaan tersebut ada yang bersifat tetap dan ada yang bersifat sementara atau juga disebut perbedaan waktu.
Perbedaan yang bersifat tetap (beda tetap) terjadi karena administrasi pajak menghitung laba fiskal berbeda dengan laba pembukuan (menurut standar akuntansi) tanpa ada koreksi di tahun yang akan datang dan akan selalu berbeda. Sedangkan perbedaan sementara (beda temporer) merupakan perbedaan pengakuan pendapatan dan beban yang sifatnya sementara, karena pada akhirnya dalam waktu tertentu jumlah pengakuan terhadap pendapatan dan beban akan sama.
Perbedaan yang bersifat tetap tidak membawa pengaruh terhadap kewajiban perpajakan perusahaan di masa yang akan datang, sedangkan perbedaan temporer akan berpengaruh terhadap kewajiban perpajakan perusahaan. PSAK No. 46 mengharuskan perusahaan untuk mencatat dampak perpajakan di masa yang akan datang yang timbul akibat perbedaan yang bersifat sementara dalam bentuk aset atau kewajiban pajak tangguhan. Selain itu, PSAK No. 46 juga menghendaki adanya pengakuan terhadap dampak perpajakan di masa datang dari sisa kompensasi kerugian fiskal yang belum digunakan apabila persyaratan tertentu dipenuhi.
Perbedaan perlakuan akuntansi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan temporer di antaranya yaitu: perbedaan metode penyusutan, perbedaan perlakuan penyertaan saham, perbedaan pencadangan pesangon, perbedaan pencadangan piutang ragu-ragu. Perbedaan temporer yang kebanyakan terjadi di perusahaan yaitu perbedaan dalam metode penyusutannnya. Karena alasan tersebutlah penulis mengajukan makalah ini untuk melihat bagaimana penerapan PSAK No. 46 studi kasus pajak tangguhan atas penyusutan aset tetap pada laporan keuangan perusahaan.

KONSEP PAJAK TANGGUHAN
Pajak tangguhan merupakan suatu konsep yang harus digunakan dalam praktik akuntansi di Indonesia. Penyusunan laporan keuangan dalam kegiatan bisnis harus mengikuti aturan dalam PSAK yang berlaku dalam upaya menjaga konsistensi dari taat asas.
Opsi penerapan pajak tangguhan dalam akuntansi pajak penghasilan telah diperkenalkan di Indonesia sejak 1 Januari 1995, sebagaimana diatur dalam paragraf 77 PSAK No. 16, akan tetapi masih banyak yang kurang paham tentang pajak tangguhan tersebut baik dari segi pengertian atau pemahaman konseptual maupun aplikasinya.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejak tanggal 1 Januari 1999 telah memberlakukan PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan dan sekaligus mencabut dan memperbaharui paragraf 77 PSAK No. 16. Dalam penerapan PSAK No. 46 tersebut menimbulkan perubahan orientasi dalam pendekatan yang digunakan dari pendekatan lama yang masih bersifat “income statement approach” ke pendekatan baru yang bersifat “balance sheet approach”.

Tujuan dan Ruang Lingkup PSAK No. 46
Pada paragraf 1 PSAK No. 46 disebutkan bahwa pernyataan ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan. Masalah utama perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan dan periode mendatang untuk hal-hal berikut:
a)  Pemulihan nilai tercatat aset yang diakui pada neraca perusahaan atau pelunasan nilai tercatat kewajiban yang diakui pada neraca perusahaan;
b)  Transaksi-transaksi atau kejadian–kejadian lain  pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan perusahaan.
Ruang lingkup PSAK No. 46 sebagaimana tertuang pada paragraf 5 dan 6 yaitu:
a)   Mencakup perlakuan pajak penghasilan final, yang artinya bahwa setelah pelunasan kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Sesuai dengan peraturan perundangan perpajakan, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak lagi dilaporkan sebagai penghasilan kena pajak, semua beban sehubungan dengan penghasilan yang dikenakan PPh final tidak boleh dikurangkan. Di lain pihak, baik pendapatan maupun beban tersebut dipakai dalam perhitungan laba rugi menurut akuntansi. Oleh karena itu, tidak terdapat perbedaan temporer sehingga tidak diakui adanya aset atau kewajiban pajak tangguhan.
b) Mencakup pembatalan paragraf 77 PSAK No. 16 yang menyatakan “Apabila perusahaan memilih untuk menghitung pajak menurut laba akuntansi, selisih perhitungan tersebut dengan hutang pajak yang dihitung (menurut laba kena pajak) yang disebabkan perbadaan waktu pengakuan pendapatan dan beban untuk tujuan akuntansi dengan tujuan pajak ditampung dalam perkiraan pajak penghasilan yang ditangguhkan, dikelompokkan sebagian dari aset laain-lain dan dialokasikan pada beban kena pajak penghasilan tahun-tahun mendatang”.

Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal
Untuk dapat menghitung besarnya pajak tangguhan, perlu dilakukannya rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal. Perbedaan pertimbangan yang mendasari penyusunan laporan keuangan komersial dengan perpajakan menghasilkan jumlah angka laba yang berbeda yaitu laba komersial dan laba fiskal.
Menurut PSAK No. 46 paragraf 7, laba akuntansi (komersial) adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak. Sedangkan penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan.
Rekonsiliasi fiskal perlu dilakukan karena adanya perbedaan prinsip pencatatan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal. Perbedaan yang timbul antara laba komersial dan laba fiskal disebabkan karena perbedaan konsep, cara pengukuran dan pengakuan penghasilan dan biaya antara peraturan pajak dan Standar Akuntansi Keuangan sehingga menyebabkan perlunya koreksi fiskal. Koreksi fiskal terdiri dari koreksi positif, yaitu koreksi yang dapat menambah laba kena pajak dan koreksi negatif, yaitu koreksi yang dapat mengurangi laba kena pajak.
Hal-hal yang menimbulkan koreksi-koreksi fiskal dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu perbedaan yang bersifat tetap dan perbedaan yang bersifat sementara (temporer).
a) Perbedaan yang bersifat tetap
Perbedaan tetap (permanent difference) adalah perbedaan yang terjadi karena adanya transaksi pendapatan dan biaya tertentu yang boleh diakui oleh akuntansi tetapi tidak boleh diakui oleh pajak atau sebaliknya. Perbedaan tetap ini tidak memiliki konsekuensi terhadap pengalokasian pajak penghasilan.
b) Perbedaan yang bersifat sementara (temporer)
Berdasarkan Paragraf 7 PSAK No. 46, Perbedaan sementara (temporary difference) adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset atau kewajiban dengan dasar pengenaan pajaknya. Perbedaan ini timbul karena pos-pos penghasilan dan biaya diakui dalam periode berbeda dalam rangka pelaporan komersial dan pelaporan fiskal. Perbedaan temporer dapat berupa:
(1) Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary difference) yaitu perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aset terpulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi;
(2) Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductable temporary difference) yaitu perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan dalam perhitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aset dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi.

Pengakuan dan Pengukuran dalam PSAK No. 46
Perbedaan dasar pengukuran dan pengakuan aset dan kewajiban untuk tujuan pelaporan keuangan dan fiskal merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya perbedaan temporer. Pengukuran dan pengakuan aset dan kewajiban untuk perhitungan laba-rugi fiskal mengacu pada peraturan perpajakan, sedangkan pengukuran dan pengakuan aset dan kewajiban untuk perhitungan laba-rugi akuntansi mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Untuk membahas akuntansi pajak penghasilan, digunakan istilah dasar pengenaan pajak (DPP) digunakan untuk menyatakan dasar pengukuran aset dan kewajiban berdasarkan peraturan perpajakan. Sedangkan istilah nilai tercatat digunakan untuk menyatakan dasar pengukuran aset dan kewajiban yang mengacu pada SAK.
Berdasarkan paragraf 9-10 PSAK No. 46, DPP aset adalah jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal terhadap setiap manfaat ekonomi (penghasilan) kena pajak yang akan diterima perusahaan pada saat pemulihan nilai tercatat aset terkait. Apabila manfaat ekonomi (penghasilan) tersebut tidak akan dikenakan pajak, maka DPP aset adalah sama dengan nilai tercatatnya. Sedangkan DPP kewajiban adalah nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan pada masa depan.
Pengakuan yang diatur dalam PSAK No. 46 adalah terhadap:
Aset diakui sebagai aset pajak kini apabila selisih jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode-periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut.
b)  Kewajiban pajak kini
Kewajiban pajak kini merupakan jumlah pajak kini yang belum dibayar.
c)  Kewajiban pajak tangguhan
Jumlah pajak penghasilan terhutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak, kecuali jika timbul perbedaan temporer kena pajak:
(1)  dari goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal
(2) pada saat pengakuan awal aset atau kewajiban dari suatu transaksi yang bukan transaksi penggabungan usaha dan pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal.
d)   Aset pajak tangguhan
Jumlah pajak penghasilan terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Aset pajak tangguhan diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, sepanjang besar kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal pada masa yang akan datang, kecuali yang timbul dari:
(1) goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai PSAK No. 22 tentang akuntansi penggabungan usaha
(2)  pengakuan awal aset atau kewajiban pada saat transaksi yang bukan transaksi penggabungan usaha dan tidak mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba fiskal.
e)   Saldo rugi fiskal yang dapat dikurangkan
Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasikan diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang akan memadai untuk dikompensasikan.
f)    Pajak kini dan pajak tangguhan
Dalam kaitannya dengan laporan laba-rugi, pajak kini dan pajak tangguhan diakui sebagai penghasilan atau beban pajak pada laporan periode berjalan, kecuali untuk pajak penghasilan yang berasal dari transaksi atau kejadian yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas dan penggabungan usaha yang secara substansi adalah akuisisi.
g)   Pengakuan pengkreditan atau pembebanan ke ekuitas
Pajak kini dan pajak tangguhan harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas apabila pajak tersebut berhubungan dengan transasksi yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas.

Pengukuran yang diterapkan PSAK No. 46 yaitu:
a)  Kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya, diakui sebesar jumlah pajak terhutang (restitusi pajak) yang dihitung dengan tarif (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.
b) Aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang secara subtantif berlaku pada tanggal neraca.
c) Aset  dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan pada tanggal neraca.
d)   Aset dan kewajiban pajak tangguhan tidak boleh didiskonto.
e)  Nilai tercatat aset pajak tangguhan harus ditinjau kembali pada tanggal neraca. Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat tersebut, apabila laba fiskal tidak mungkin memadai untuk mengkompensasikan sebagian atau semua aset pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila kemungkinan besar laba fiskal memadai.

Penyajian dalam PSAK No. 46
Menurut PSAK No. 46 perkiraan aset pajak dan kewajiban pajak dalam neraca yaitu sebagai berikut:
a)  Aset dan kewajiban pajak harus disajikan terpisah dari aset dan kewajiban lainnya dalam neraca dan disajikan dalam aset (kewajiban) tidak lancar.
b)  Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan disajikan terpisah dari aset pajak kini (seperti tagihan restitusi PPh) dan kewajiban pajak kini (seperti utang PPh pasal 25 dan pasal 29).
c)  Penyajian aset pajak kini harus dikompensasi (offset) dengan kewajiban pajak kini dan jumlah netonya disajikan dalam neraca.
d)  Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba (rugi) dari aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada Laporan Laba Rugi.

Pengungkapan dalam PSAK No. 46
PSAK No. 46 mengharuskan untuk mengungkapkan informasi lain yang berhubungan dengan aset dan kewajiban pajak sebagai elemen neraca serta penghasilan dan biaya fiskal sebagai elemen laba rugi  dalam laporan keuangan atau catatan atas laporan keuangan.
Dalam penyajian aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diungkapkan:
a)   Unsur-unsur utama beban/penghasilan pajak:
(1)  Beban/penghasilan pajak kini dan penyesuaiannya.
(2) Beban/penghasilan pajak tangguhan yang berasal dari perbedaan temporer dan realisasinya serta perubahan tarif (aturan) pajak.
(3) Jumlah manfaat dari rugi pajak atau perbedaan temporer periode sebelumnya sebagai pengurang beban pajak kini dan tangguhan.
(4) Beban pajak tangguhan dari penurunan dan penyesuaian kembali periode sebelumnya , dari aset pajak tangguhan.
b) Jumlah pajak kini dan tangguhan yang berasal dari transaksi-transaksi yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas.
c)   Beban/penghasilan pajak dari pos luar biasa disajikan secara total.
d)  Hubungan beban/penghasilan pajak dan laba akuntansi dalam salah satu atau kedua bentuk berikut ini:
(1) Rekonsiliasi beban/penghasilan pajak sama dengan hasil kali laba akuntansi dan tarif pajak.
(2) Rekonsiliasi tarif pajak efektif rata-rata (beban/penghasilan pajak dibagi dengan laba akuntansi) dan tarif pajak yang berlaku.
e)  Penjelasan perubahan tarif pajak yang berlaku dengan tarif pajak periode sebelumnya.
f)   Jumlah perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa rugi kompensasi yang boleh/tidak boleh diakui sebagai aset pajak tangguhan pada neraca serta beban/penghasilan pajak tangguhan pada laporan laba rugi yang tidak terlihat pada perubahan aset/kewajiban pajak tangguhan di neraca.
g)  Beban pajak yang berasal dari laba/rugi penghentian operasi dan laba/rugi aktivitas normal operasi yang dihentikan.
Selain itu, perusahaan harus mengungkapkan jumlah aset pajak tangguhan apabila:
a)  Laba fiskal periode mendatang lebih besar dari relisasi perbedaan temporer kena pajak.
b)  Perusahaan telah menderita kerugian pada periode berjalan atau periode sebelumnya.

Penghitungan dalam PSAK No. 46
Pajak penghasilan tangguhan dapat dihitung dengan cara mengalikan beda sementara (temporer) yang terjadi akibat selisih antara akuntansi dan fiskal dengan tarif pajak yang berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 17 (ayat 2a), disebutkan tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yaitu sebesar 25% (dua puluh lima persen). Pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, beda temporer dikalikan dengan tarif PPh 25%.
Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan pajak tangguhan atas perbedaan temporer penyusutan aset tetap menurut akuntansi dan perpajakan (fiskal) yang dikutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan.
Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal:
Aset Tetap
Beban Penyusutan
Menurut Akuntansi (Rp)
Menurut Fiskal (Rp)
Bangunan
662.500.000
1.225.000.000
Mesin
4.000.500.000
6.500.000.000
Kendaraan
2.000.000.000
2.875.000.000
Peralatan
600.000.000
725.000.000
Jumlah
7.263.000.000
11.325.000.000
Selisih
4.062.000.000

Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan akuntansi dan perpajakan (fiskal). Melihat beban penyusutan menurut fiskal lebih besar dari pada akuntansi, perusahaan akan melakukan koreksi negatif dalam rekonsiliasi fiskal. Akibatnya laba fiskal akan berkurang, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil.
Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal sebagai berikut:
Laba Akuntansi

      12.282.150.000
Koreksi Fiskal:


Penyusutan Akuntansi
(+)
         7.263.000.000
Penyusutan Fiskal
(-)
      11.325.000.000
Laba Fiskal

         8.220.150.000



Perhitungan pajak penghasilan:
Keterangan
Akuntansi
Fiskal
Laba Sebelum Pajak
12.282.150.000
8.220.150.000
PPh Terutang:
25% x 12.282.150.000
3.070.537.500
-
25% x 8.220.150.000
-
2.055.037.500
Jumlah PPh
3.070.537.500
2.055.037.500

Taksiran pajak penghasilan:

Jumlah
Keterangan
Beban Pajak Kini
     2.055.037.500
PPh fiskal
Beban Pajak Tangguhan
     1.015.500.000
=25% x 4.062.000.000
Jumlah Beban Pajak
     3.070.537.500


Jurnalnya sebagai berikut:

Debet
Kredit
Beban Pajak Kini
2.055.037.500
Beban Pajak Tangguhan
1.015.500.000
Hutang PPh 25/29
2.055.037.500
Kewajiban Pajak Tangguhan
1.015.500.000


KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan yaitu:
1.  PSAK No. 46 mengatur pengakuan terhadap aset pajak kini, kewajiban pajak kini, kewajiban pajak tangguhan, aset pajak tangguhan, beban pajak kini dan beban pajak tangguhan.
2.   PSAK No. 46 menerapkan pengukuran terhadap:
a) Kewajiban (aset) pajak kini diakui sebesar jumlah pajak terhutang (restitusi pajak) yang dihitung dengan tarif yang berlaku.
b)   Aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur menggunakan tarif pajak yang berlaku yaitu tarif pajak dikalikan dengan beda temporer pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi.
3.  Penyajian menurut PSAK No. 46 yaitu:
a)  Aset dan kewajiban pajak tangguhan disajikan terpisah dari aset dan kewajiban pajak kini yang juga harus disajikan terpisah dari aset dan kewajiban lainnya dalam neraca pada aset (kewajiban) tidak lancar.
b)  Beban (penghasilan) pajak tangguhan harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.
4.  PSAK No. 46 mengharuskan untuk mengungkapkan informasi di catatan atas laporan keuangan mengenai aset dan kewajiban pajak sebagai elemen neraca serta beban dan penghasilan fiskal sebagai elemen laba rugi.

DAFTAR PUSTAKA
Hardi. 2008. Perhitungan Pajak Tangguhan atas Penyusutan Aktiva Tetap. Makalah. http://auditme-post.blogspot.com/2008/04/perhitungan-pajak-tangguhan-atas_28.html (diunduh tanggal 4 Januari 2011).
Harnanto. 2003. Akuntansi Perpajakan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
IAI. 2007. PSAK No. 46 (Reformat 2007) Akuntansi Pajak Penghasilan. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
Keliat, Margaretha. 2004. Analisis Atas Pajak Tangguhan: Studi Kasus pada PT Wika Realty. Tesis. Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Marom, Chairul. 2002. Akuntansi Pajak Penghasilan. Jakarta: Pustaka Damar.